Menjaga yang sudah datang: Tantangan merawat investasi di Indonesia

id Menjaga yang sudah datang,Tantangan merawat investasi,Indonesia,investasi,World Expo 2025 Oleh Didik Prasetiyono *)

Menjaga yang sudah datang: Tantangan merawat investasi di Indonesia

Direktur Utama PT Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER) Didik Prasetyono (ANTARA/HO-Dok. Didik Prasetyono)

Surabaya (ANTARA) - Selama beberapa hari di Osaka, dalam gelaran World Expo 2025, riuh paviliun dan sesi forum bisnis berbagai negara menjadi semacam panggung yang menggambarkan bagaimana tiap negara bersaing menampilkan wajah terbaiknya. Di antara banyak hal yang dipamerkan, dari robotik hingga kuliner lokal, satu hal yang terasa sangat nyata dalam diskusi lintas negara adalah pentingnya membangun kepercayaan. Bukan hanya untuk menarik investor, tetapi juga untuk merawat kehadiran mereka dalam jangka panjang.

Di forum “Discovering East Java Investment Opportunities” yang digelar di Paviliun Indonesia pada Osaka Expo 2025, delegasi dari Jawa Timur hadir bukan hanya dengan brosur dan data, tetapi dengan satu hal yang lebih penting: komitmen. Saat Wakil Gubernur Emil Elestianto Dardak berbicara tentang kesiapan provinsi ini dalam menyambut investasi, terasa bahwa yang disampaikan bukan sekadar slogan. Ada kesungguhan untuk menjadikan Jawa Timur sebagai tempat yang ramah bagi dunia usaha, bukan hanya karena potensinya, tetapi karena adanya kesediaan untuk mendengar, memahami, dan melayani.

Keesokan harinya, kunjungan ke kantor pusat Yamaha Corporation di Hamamatsu semakin memperjelas pentingnya kehadiran pemerintah dalam relasi dengan investor. Yamaha, perusahaan yang telah berdiri sejak tahun 1887 dan telah beroperasi lebih dari 50 tahun di Indonesia, menyampaikan secara langsung bahwa yang mereka butuhkan bukan hanya insentif fiskal atau kemudahan izin, tetapi juga kepastian iklim dalam berusaha. Dalam pertemuan tersebut, Toshiaki Goto, salah satu eksekutif Yamaha, menggarisbawahi betapa mereka menghargai lingkungan operasional yang stabil di Jawa Timur, dari kemudahan komunikasi dengan pengelola kawasan industri hingga perbaikan infrastruktur yang terasa konkret.

Pernyataan itu datang bukan tanpa konteks. Dalam beberapa tahun terakhir, gejolak global membuat banyak perusahaan berpikir ulang soal lokasi produksi mereka. Ancaman terhadap rantai pasok, volatilitas nilai tukar, kualitas dan tingkat produktifitas sumber daya manusia yang tersedia, hingga ketegangan geopolitik membuat setiap keputusan investasi menjadi jauh lebih hati-hati. Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa hingga awal 2025, aliran modal keluar dari Indonesia mencapai hampir Rp20 triliun, angka yang mencerminkan kekhawatiran pelaku pasar terhadap stabilitas dan prediktabilitas ekonomi nasional.

Dalam situasi seperti ini, Indonesia perlu menawarkan lebih dari sekadar ajakan manis untuk berinvestasi. Yang dibutuhkan adalah konsistensi kebijakan, efisiensi layanan, serta jaminan keamanan dan kepastian hukum. Banyak investor, baik lokal maupun asing, menyuarakan kekhawatiran serupa: sulitnya memahami regulasi yang tumpang tindih, lambannya proses birokrasi, dan ketidakpastian hukum yang kerap muncul tiba-tiba. Hal-hal semacam ini tidak hanya mengganggu operasional, tetapi juga menambah biaya tak terduga yang membuat ekonomi Indonesia terasa mahal di mata pelaku usaha.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah efisiensi logistik. Dengan biaya logistik nasional yang masih berkisar 14,3% dari PDB, jauh di atas Malaysia atau Thailand, produk-produk Indonesia sering kalah bersaing bukan karena kualitas, tetapi karena ongkos distribusi yang membengkak. Untuk menjawab tantangan ini, kawasan industri yang ada harus terus didorong menjadi simpul logistik yang terintegrasi. Bukan hanya sebagai lokasi pabrik, tetapi juga sebagai tempat di mana rantai produksi, distribusi, dan layanan pemerintah berjalan dalam satu kesatuan yang efisien.

Pengalaman di Osaka dan Hamamatsu menjadi pengingat bahwa investasi bukanlah soal siapa yang paling banyak memberi karpet merah. Lebih dari itu, ini adalah tentang siapa yang benar-benar siap menjadi mitra dalam menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Pemerintah daerah seperti Jawa Timur telah menunjukkan bahwa dengan komunikasi terbuka dan sikap adaptif, mereka bisa menjadi mitra yang dipercaya oleh perusahaan sebesar Yamaha.

Namun pekerjaan belum selesai. Jika Indonesia ingin menjadi rumah bagi industri masa depan, maka ia harus mampu menjamin bahwa sekali investor datang, mereka tidak perlu ragu untuk bertahan. Yang dibutuhkan adalah sistem yang tidak hanya ramah di awal, tetapi juga stabil dan profesional dalam mendampingi perjalanan panjang dunia usaha. Di tengah ekonomi global yang rapuh, hal ini bisa menjadi keunggulan kompetitif yang langka.

Dalam konteks itulah, merawat investasi menjadi lebih dari sekadar pekerjaan teknis. Ini adalah soal menjaga relasi. Soal menjadi tuan rumah yang tidak hanya menyambut dengan hangat, tetapi juga hadir saat dibutuhkan, mendengarkan keluhan tanpa defensif, dan mengambil langkah korektif dengan cepat. Karena pada akhirnya, bukan siapa yang paling ramai mengundang, melainkan siapa yang paling dapat dipercaya untuk mendampingi.



*) Penulis adalah Direktur Utama Kawasan Industri SIER, Wakil Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI), Delegasi Provinsi Jawa Timur dalam Discovering East Java Investment Opportunities di Osaka Expo 2025





COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
OSZAR »